PP Nomor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 54  TAHUN 2005

TENTANG

PINJAMAN DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 171 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pinjaman Daerah;

Mengingat

  1. Pasal 5 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437);
  3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4438);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PINJAMAN DAERAH

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

  1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;
  3. Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  4. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota;
  5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah;
  6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat;
  7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah;
  8. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi;
  9. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali;
  10. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal;
  11. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi;
  12. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi;
  13. Proyek adalah kegiatan yang merupakan bagian dari program yang terdiri dari sekumpulan tindakan pengerahan sumber daya baik yang berupa personal (sumber daya manusia), barang modal termasuk peralatan dan teknologi, dana, atau kombinasi dari beberapa atau kesemua jenis sumber daya tersebut sebagai masukan (input) untuk menghasilkan keluaran (output) dalam bentuk barang/jasa.

BAB II
PRINSIP UMUM PINJAMAN DAERAH

Pasal 2

  1. Pinjaman Daerah merupakan alternatif sumber pembiayaan APBD dan/atau untuk menutup kekurangan kas.
  2. Pinjaman Daerah digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 3

  1. Pemerintah Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri.
  2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pinjaman langsung kepada pihak luar negeri yang terjadi karena kegiatan transaksi Obligasi Daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 4

  1. Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain.
  2. Pendapatan Daerah dan/atau barang milik Daerah tidak boleh dijadikan jaminan Pinjaman Daerah.
  3. Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik Daerah yang melekat dalam Proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi Daerah.

Pasal 5

  1. Jenis Pinjaman Daerah terdiri atas:
    a. Pinjaman Jangka Pendek;
    b. Pinjaman Jangka Menengah; dan
    c. Pinjaman Jangka Panjang.
  2. Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
  3. Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan.
  4. Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan.

Pasal 6

Dalam hal Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang telah melakukan perjanjian pinjaman jangka menengah berhenti sebelum masa jabatannya berakhir, maka perjanjian pinjaman jangka menengah tersebut tetap berlaku.

Pasal 7

  1. Pinjaman Jangka Pendek hanya dipergunakan untuk menutup kekurangan arus kas pada tahun anggaran yang bersangkutan.
  2. Pinjaman Jangka Menengah dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan.
  3. Pinjaman Jangka Panjang dipergunakan untuk membiayai Proyek investasi yang menghasilkan penerimaan.

Pasal 8

  1. Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Jangka Pendek yang bersumber dari:
    a. Pemerintah Daerah lain;
    b. lembaga keuangan bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia; dan/atau
    c. lembaga keuangan bukan bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia.
  2. Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang yang bersumber dari:
    a. Pemerintah yang dananya berasal dari pendapatan APBN dan/atau pengadaan pinjaman Pemerintah dari dalam negeri ataupun luar negeri;
    b. Pemerintah Daerah lain;
    c. lembaga keuangan bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia;
    d. lembaga keuangan bukan bank yang berbadan hukum Indonesia dan mempunyai tempat kedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia; dan/atau
    e. masyarakat.
  3. Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e berupa Obligasi Daerah yang diterbitkan melalui penawaran umum kepada masyarakat di pasar modal dalam negeri.

Pasal 9

Menteri Keuangan mengelola Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah.

BAB III
BATAS PINJAMAN DAERAH

Pasal 10

  1. Batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun yang bersangkutan.
  2. Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif Pinjaman Daerah secara keseluruhan paling lambat bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan perkembangan perekonomian nasional.
  3. Menteri Keuangan menetapkan pedoman pelaksanaan dan mekanisme pemantauan serta pengendalian batas maksimal kumulatif Pinjaman Daerah.

BAB IV
PERSYARATAN UMUM PINJAMAN DAERAH

Pasal 11

Persyaratan yang harus dipenuhi dalam melakukan pinjaman jangka pendek adalah sebagai berikut:

a. kegiatan yang akan dibiayai dari pinjaman jangka pendek telah dianggarkan dalam APBD tahun bersangkutan.

b. kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a merupakan kegiatan yang bersifat mendesak dan tidak dapat ditunda.

c. Persyaratan lainnya yang dipersyaratkan oleh calon pemberi pinjaman.

Pasal 12

Dalam hal Pemerintah Daerah akan melakukan pinjaman jangka menengah atau jangka panjang, Pemerintah Daerah wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya.

b. rasio proyeksi kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman paling sedikit 2,5 (dua koma lima).

c. tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari Pemerintah.

d. mendapatkan persetujuan DPRD.

BAB V
PROSEDUR PINJAMAN DAERAH YANG BERSUMBER DARI PEMERINTAH

Bagian Pertama Prosedur Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri Pasal 13

  1. Usulan kegiatan yang akan dibiayai dengan Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya bersumber dari pinjaman luar negeri harus tercantum dalam Daftar Rencana Prioritas Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
  2. Pemerintah Daerah menyampaikan rencana Pinjaman Daerah untuk membiayai usulan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri Keuangan dengan sekurang-kurangnya melampirkan:
    a. realisasi APBD selama 3 tahun terakhir berturut-turut;
    b. APBD tahun bersangkutan;
    c. perhitungan tentang kemampuan Daerah dalam memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman (proyeksi DSCR);
    d. rencana keuangan (financing plan) pinjaman yang akan diusulkan; dan
    e. surat persetujuan DPRD.
  3. Menteri Keuangan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri menetapkan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
  4. Penetapan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sebelum pelaksanaan negosiasi dengan calon pemberi pinjaman luar negeri, dengan berdasarkan:
    a. Daftar Rencana Prioritas Pinjaman dan/atau Hibah Luar Negeri;
    b. alokasi pinjaman pemerintah menurut sumber dan persyaratannya;
    c. kemampuan membayar kembali; dan
    d. kapasitas fiskal daerah.
  5. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya berasal dari luar negeri dilakukan melalui perjanjian penerusan pinjaman.
  6. Perjanjian penerusan pinjaman dilakukan antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.

Pasal 14

  1. Menteri Keuangan menetapkan persyaratan penerusan pinjaman.
  2. Mata uang yang digunakan dalam perjanjian penerusan pinjaman dapat dalam mata uang Rupiah atau mata uang asing. Bagian Kedua Prosedur Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber Selain dari Pinjaman Luar Negeri

Pasal 15

  1. Daerah mengajukan usulan pinjaman kepada Menteri Keuangan dengan melampirkan dokumen sekurang-kurangnya sebagai berikut: a. persetujuan DPRD; b. studi kelayakan proyek; dan c. dokumen lain yang diperlukan.
  2. Menteri Keuangan melakukan penilaian atas usulan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Menteri Keuangan dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas usulan pinjaman.
  4. Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang dananya berasal selain dari pinjaman luar negeri dilakukan melalui perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan dan kepala daerah.

Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber dari Pinjaman Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, dan Pinjaman Daerah dari Pemerintah yang Dananya Bersumber Selain dari Pinjaman Luar Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.

BAB VI
PROSEDUR PINJAMAN DAERAH YANG BERSUMBER DARI SELAIN PEMERINTAH

Pasal 17

Pemerintah Daerah dapat melakukan Pinjaman Daerah yang bersumber selain dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah lainnya sepanjang tidak melampaui batas kumulatif Pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Bagian Pertama Prosedur Pinjaman Jangka Pendek

Pasal 18

  1. Pemerintah Daerah mengajukan usulan pinjaman kepada calon pemberi pinjaman.
  2. Calon pemberi pinjaman melakukan penilaian atas usulan pinjaman daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Pinjaman daerah jangka pendek dilakukan dengan perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Kepala Daerah/pejabat yang diberi kuasa dan pemberi pinjaman, dengan memperhatikan persyaratan yang paling menguntungkan Pemerintah Daerah penerima pinjaman.

Bagian Kedua Prosedur Pinjaman Jangka Menengah atau Jangka Panjang

Pasal 19

  1. Pemerintah Daerah wajib melaporkan rencana pinjaman yang bersumber selain dari Pemerintah kepada Menteri Dalam Negeri untuk mendapatkan pertimbangan, dengan menyampaikan sekurang-kurangnya dokumen sebagai berikut:
    a. kerangka acuan Proyek;
    b. APBD tahun bersangkutan;
    c. perhitungan tentang kemampuan Daerah dalam memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman (proyeksi DSCR);
    d. rencana keuangan (financing plan) pinjaman yang akan diusulkan;
    e. surat persetujuan DPRD.
  2. Menteri Dalam Negeri memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka pemantauan defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah.
  3. Dalam hal Menteri Dalam Negeri telah memberikan pertimbangan, Pemerintah Daerah mengajukan usulan Pinjaman Daerah kepada calon pemberi pinjaman sesuai dengan pertimbangan Menteri Dalam Negeri tersebut.
  4. Pemerintah daerah mengajukan usulan pinjaman daerah kepada calon pemberi pinjaman sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  5. Calon pemberi Pinjaman Daerah melakukan penilaian atas usulan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  6. Pinjaman Daerah yang bersumber selain dari Pemerintah dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Kepala Daerah dan pemberi pinjaman.
  7. Perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (6) wajib dilaporkan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 20

Menteri Keuangan dapat menetapkan lebih lanjut pelaksanaan pinjaman jangka menengah dan jangka panjang yang bersumber selain dari Pemerintah dalam rangka pengendalian dan kehati-hatian fiskal dengan memperhatikan keadaan perekonomian nasional dan batas kumulatif Pinjaman Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

BAB VII OBLIGASI DAERAH

Bagian Pertama
Umum

Pasal 21

Penerbitan Obligasi Daerah wajib memenuhi ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini beserta peraturan pelaksanaannya serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 22

Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat dilakukan di pasar domestik dan dalam mata uang Rupiah.

Pasal 23

Obligasi Daerah merupakan efek yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dan tidak dijamin oleh Pemerintah.

Pasal 24

Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.

Pasal 25

Penerbitan Obligasi Daerah hanya dapat dilakukan untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat.

Pasal 26

Penerimaan dari investasi sektor publik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, penggunaannya diprioritaskan untuk membayar pokok, bunga, dan denda Obligasi Daerah terkait.

Pasal 27

Pembayaran pokok, bunga, dan denda atas Obligasi Daerah dianggarkan dalam APBD sampai dengan Obligasi Daerah dinyatakan lunas.

Pasal 28

Setiap perjanjian pinjaman Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan:
a. nilai nominal;
b. tanggal jatuh tempo;
c. tanggal pembayaran bunga;
d. tingkat bunga (kupon);
e. frekuensi pembayaran bunga;
f. cara perhitungan pembayaran bunga;
g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; dan
h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.

Bagian Kedua
Prosedur PenerbitanObligasi Daerah

Pasal 29

  1. Rencana penerbitan Obligasi Daerah disampaikan kepada Menteri Keuangan dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 20.
  2. Persetujuan DPRD mengenai rencana penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pembayaran pokok dan bunga yang timbul sebagai akibat penerbitan Obligasi Daerah dimaksud.
  3. Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan atas nilai bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan pada saat penetapan APBD.
  5. Selain memberikan persetujuan atas hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), DPRD memberikan persetujuan atas segala biaya yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah.
  6. Ketentuan mengenai tatacara penerbitan, pelaksanaan/penatausahaan, dan pemantauan Obligasi Daerah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.

Pasal 30

  1. Pemerintah Daerah dapat membeli kembali Obligasi Daerah yang diterbitkannya.
  2. Obligasi Daerah yang dibeli kembali dapat diperlakukan sebagai pelunasan atas Obligasi Daerah tersebut, atau disimpan untuk dapat dijual kembali (treasury bonds).
  3. Dalam hal Obligasi Daerah yang dibeli kembali diperhitungkan sebagai treasury bonds, maka hak-hak yang melekat pada Obligasi Daerah batal demi hukum. Bagian Ketiga Kewajiban

Pasal 31

  1. Pemerintah Daerah wajib membayar pokok dan bunga setiap Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo serta denda atas Obligasi Daerah.
  2. Pembayaran sebagaimana dimaksud ayat (1) dianggarkan dalam APBD yang dananya dari pendapatan daerah yang berasal dari penerimaan proyek yang didanai dengan Obligasi Daerah maupun pendapatan Daerah lainnya.
  3. Dana untuk membayar pokok dan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut.
  4. Dalam hal pembayaran bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi perkiraan, Kepala Daerah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam pembahasan Perubahan APBD.
  5. Dalam hal proyek belum menghasilkan dana yang cukup untuk membayar pokok, bunga dan denda Obligasi Daerah terkait, maka pembayaran tersebut dibayarkan dari APBD.

Bagian Keempat
Pengelolaan Obligasi Daerah

Pasal 32

  1. Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah.
  2. Kepala Daerah dapat membentuk satuan kerja untuk mengelola Obligasi Daerah.

Pasal 33

Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:

a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah termasuk kebijakan pengendalian risiko;

b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio Pinjaman Daerah;

c. penerbitan Obligasi Daerah;

d. penjualan Obligasi Daerah melalui lelang;

e. pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo;

f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan

g. pertanggungjawaban. Bagian Kelima Akuntabilitas dan Transparansi

Pasal 34

  1. Kepala Daerah wajib menyelenggarakan dan membuat pertanggungjawaban atas pengelolaan Obligasi Daerah serta dana hasil penerbitan Obligasi Daerah.
  2. Pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPRD sebagai bagian dari pertanggungjawaban pelaksanaan APBD. Pasal 35 Kepala Daerah wajib mempublikasikan secara berkala informasi tentang:
    a. kebijakan pengelolaan Pinjaman Daerah dan rencana penerbitan Obligasi Daerah yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan;
    b. jumlah Obligasi Daerah yang beredar beserta komposisinya, struktur jatuh tempo dan tingkat bunga;
    c. laporan keuangan Pemerintah Daerah;
    d. laporan penggunaan dana yang diperoleh melalui penerbitan Obligasi Daerah, alokasi dana cadangan, serta laporan-laporan lain yang bersifat material; dan
    e. kewajiban publikasi data dan/atau informasi lainnya yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal.

Pasal 36

Tata cara penerbitan, pertanggungjawaban, serta publikasi informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 35 dan Pasal 36 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan dan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. BAB VIII PEMBAYARAN KEMBALI PINJAMAN DAERAH

Pasal 37

Dalam hal pembayaran kembali pinjaman jangka pendek menimbulkan biaya antara lain bunga dan denda, maka biaya tersebut dibebankan pada belanja APBD.

Pasal 38

  1. Kewajiban pembayaran kembali Pinjaman Daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam APBD dan direalisasikan/dibayarkan pada tahun anggaran yang bersangkutan.
  2. Pembayaran kembali Pinjaman Daerah dari Pemerintah, dilakukan dalam mata uang sesuai yang ditetapkan dalam Perjanjian Pinjaman antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah.

BAB IX
PELAPORAN DAN SANKSI PINJAMAN DAERAH

Pasal 39

  1. Semua penerimaan dan kewajiban dalam rangka Pinjaman Daerah dicantumkan dalam APBD dan dibukukan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah.
  2. Keterangan yang memuat semua pinjaman jangka menengah dan jangka panjang wajib dituangkan dalam lampiran dari dokumen APBD.
  3. Setiap perjanjian pinjaman yang dilakukan oleh Daerah merupakan dokumen publik dan diumumkan dalam Lembaran Daerah.

Pasal 40

  1. Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri setiap semester dalam tahun anggaran berjalan.
  2. Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan dapat menunda penyaluran Dana Perimbangan.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 41

  1. Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara yang menjadi hak Daerah tersebut.
  2. Dalam hal Daerah melakukan pinjaman langsung dari sumber luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Menteri Keuangan akan melakukan pemotongan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara yang menjadi hak Daerah tersebut.
  3. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemotongan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 42

Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan perjanjian pinjaman yang telah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (7) dan/atau Pemerintah Daerah membuat perjanjian pinjaman yang tidak sesuai dengan pertimbangan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), maka Pemerintah Daerah yang bersangkutan dilarang melakukan Pinjaman Daerah selama 3 (tiga) tahun berturut-turut.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43

  1. (1) Perjanjian Pinjaman Daerah yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, dapat tetap tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama sampai berakhirnya pelunasan pembayaran pinjaman.
  2. (2) Perjanjian Pinjaman Daerah yang telah dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini, atas kesepakatan bersama antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dapat mendasarkan dan menyesuaikan pengaturannya pada Peraturan Pemerintah ini.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 44

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, maka Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 2000 tentang Pinjaman Daerah dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 45

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Desember 2005

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

 

Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 9 Desember 2005

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA AD INTERIM,

View | PP No. 54 th. 2005

/ Peraturan / Tags:

Share the Post

About the Author

Comments

Comments are closed.